skip to Main Content

Kepemimpinan Transformasional Dalam Meningkatkan Kolaborasi Pemimpin dan Pegawai

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan menyampaikan bahwa saat ini Bangsa Indonesia harus mampu menghadapi Revolusi Industri 4.0 yang terintegrasi sehingga membuat pekerjaan yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) akan menjadi lebih efisien. Pernyataan tersebut disampaikan dalam kegiatan Seminar Making Indonesia 4.0 yang dimuat dalam kanal berita di website Badan Kepegawaian Negara (BKN) yang bertajuk ASN Harus Siap Berkolaborasi Hadapi Revolusi Industri 4.0, Rabu (05/12/2018). Untuk menjadikan pekerjaan tersebut lebih efisien diperlukan kolaborasi yang apik antara atasan dan bawahan. Salah satu cara untuk menciptakan kolaborasi tersebut adalah dengan menerapkan Theory U yang diciptakan oleh Otto Schramer, seorang Dosen Senior Massachusetts Institute of Technology (MIT) Amerika yang hadir dalam seminar tersebut sebagai narasumber.

Otto menjelasakan bahwa dalam menghadapi tantangan 4.0 masyarakat dituntut untuk melihat sepenuhnya (open mind), mengerti sepenuhnya (open heart), dan menerima sepenuhnya (open will). Hal tersebut harus dilakukan oleh ASN dengan berkolaborasi dalam menciptakan tata kelola 4.0 Awareness Based Collective Action (ABC) atau Pemerintahan yang transparan dan akuntabel (Open Goverment and Open Data) berdasarkan eco-system atau kebutuhan masyarakat. Hal tersebut merupakan tujuan Instansi Pemerintah yang bertugas untuk melayani masyarakat yang terdiri dari ASN dan masyarakat umum.

Untuk menciptakan kolaborasi tersebut biasanya dimulai oleh seorang pemimpin dalam suatu organisasi yang dapat mempengaruhi setiap individu dalam organisasi tersebut agar termotivasi mewujudkan tujuan organisasi. Pemimpin tersebut harus memiliki jiwa kepemimpinan yang baik dan mendukung kolaborasi tersebut. Sedangkan kepemimpinan sendiri memiliki pengertian sebagai bentuk dominasi yang didasari atas kemampuan pribadi yang sanggup mendorong atau mengajak orang lain untuk berbuat sesuatu, berdasarkan akseptasi atau penerimaan oleh kelompoknya dan memiliki keahlian khusus yang tepat bagi situasi khusus (Young dalam Kartono, 1998). Pada era Revolusi Industri 4.0 ini, seorang pemimpin dapat mengimplementasikan tiga hal yang dijelaskan dalam Theory U diatas pada pegawainya.

Tiga hal tersebut, yaitu melihat sepenuhnya (open mind), mengerti sepenuhnya (open heart), dan menerima sepenuhnya (open will) sangat erat kaitannya dengan Teori Kepemimpinan Transformasional yang memang dibutuhkan pada era 4.0 ini. Teori Kepemimpinan Transformasional erat kaitannya dengan perubahan untuk mencapai kesuksesan tujuan dari suatu organisasi khususnya dalam Instansi Pemerintah dimana kesuksesan pelayanan kepada masyarakat merupakan tujuan utama. Kepemimpinan transformasional adalah pemimpin yang mampu memberi inspirasi karyawannya untuk lebih mengutamakan kemajuan organisasi daripada kepentingan pribadi, memberikan perhatian yang baik terhadap karyawan dan mampu merubah kesadaran karyawannya dalam melihat permasalahan lama dengan cara yang baru (Robbins, 2001).

Para pemimpin transformasional terlibat dalam empat himpunan kunci pokok perilaku pemimpin, yaitu motivasi inspirasional, pengaruh yang ideal, pertimbangan individu dan stimulasi intelektual. Pemimpin dapat melakukan empat himpunan tersebut sebagai upaya mewujudkan open mind, open heart dan open will. Hal itu dapat dilakukan melalui kegiatan-kegiatan yang mempertemukan pemimpin dan pegawainya dengan obrolan yang santai mengenai empat himpunan tersebut. Pemimpin dalam suatu organisasi atau perusahaan di Eropa dan Amerika mulai mengambil peran agar lebih dekat dengan pegawainya dengan cara duduk bersama pegawai dengan membentuk lingkaran tanpa membatasi ruang pimpinan dan pegawai. Hal tersebut dilakukan dengan tujuan agar pegawai dapat mengemukakan pendapat dan keinginannya sehingga pegawai merasa dekat dengan pemimpin dan menjadi loyal untuk mewujudkan visi misi bersama.

Tetapi menurut penulis, teori tersebut memiliki kelemahan yang bisa menjadi faktor penghambat kolaborasi antara pemimpin dan pegawai. Sebagai contoh apabila seorang pemimpin memiliki label buruk sebelumnya dari pegawai. Jika Pemimpin tersebut berusaha membuat perubahan, pegawai tersebut akan berpikiran negatif dan kurang percaya akibat pelabelan tersebut. Selain itu, perbedaan karakter dan loyalitas antara pemimpin sebelumnya dan yang sedang menjabat juga sering terjadi apabila karakter yang dimiliki jauh berbeda dan membuat perhatian pegawai jadi berkurang. Kemudian karakter Sumber Daya Manusia (SDM) yang berbeda-beda juga dapat membuat suatu perubahan terhambat. Namun semua itu dapat diatasi apabila ada kegiatan seperti pertemuan dengan tujuan bertukar pikiran dan pengalaman sebagai upaya meningkatkan hubungan antara pemimpin dan pegawainya agar kolaborasi yang baik tersebut dapat tercipta.

Kepemimpinan Transformasional memiliki karakteristik seperti Idealized Influence (Pengaruh Ideal), Inspirational Motivation (Motivasi Inspirasional), Intellectual Stimulation (Stimulasi Intelektual), dan Individualized Consideration (Pertimbangan Individual), (Robbins dan Judge, 2008:91). Apabila seorang pemimpin memiliki dan dapat mengimplementasikan keempat karakteristik tersebut akan membuat proses kolaborasi menjadi lebih mudah dan mengalir tanpa adanya paksaan karena kuasa pimpinan. Namun hal tersebut tetap ada upaya dari dua belah pihak antara pemimpin dan pegawai agar prosesnya seperti yang diharapkan.

Apabila Kepemimpinan Transformasional tersebut diimplementasikan dalam Instansi Pemerintah terutama yang berkaitan langsung dengan pelayanan masyarakat seperti Badan Kepegawaian Negara, menurut penulis tentu akan memberikan dampak positif baik pada kinerja pegawai sendiri maupun hubungan antara pimpinan dan pegawai. Apalagi dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0 dimana pegawai dituntut dapat mengikuti perkembangan dengan cepat yang salah satunya dapat diraih dengan kolaborasi antara pemimpin dengan pegawai. Sehingga pelayanan publik dapat dilaksanakan dengan maksimal dan masyarakat, baik ASN dan non-ASN merasa puas dengan pelayanan yang ada di Instansi Pemerintah. Selain itu, tata kelola 4.0 Awareness Based Collective Action (ABC) atau Pemerintahan yang transparan dan akuntabel (Open Goverment and Open Data) yang berdasarkan kebutuhan masyarakat dapat terwujud.

Back To Top