skip to Main Content

Membangun Ruang Aman: Strategi Mengatasi Budaya Diam di Birokrasi

Dalam budaya Jepang, terdapat istilah chinmoku yang berarti “diam”. Diam sering dimaknai sebagai bentuk penghormatan, tanda kebijaksanaan, atau waktu untuk merenung sebelum bicara. Namun dalam lingkungan birokrasi, diam bisa bermakna berbeda. Diam bisa lahir dari rasa enggan untuk bicara, takut bertanya, atau keyakinan bahwa pendapat tidak akan didengar. Ada pula yang diam karena khawatir dianggap menentang atau kurang cakap. Jika dibiarkan berlarut, kebiasaan ini bisa menjadi pola yang menghambat perkembangan organisasi.

Fenomena ini dikenal sebagai organizational silence atau budaya diam, yang pertama kali dikemukakan oleh Morrison dan Milliken. Mereka menjelaskan bahwa budaya diam adalah kondisi ketika individu dalam organisasi cenderung menyimpan informasi penting atau tidak menyuarakan pendapat karena berbagai alasan. Diam dalam konteks ini bukan sekadar tidak berbicara, tetapi muncul dari keyakinan bahwa berbicara itu tidak aman, tidak berguna, atau bahkan berisiko.

Padahal, suara setiap individu dalam organisasi adalah aset penting. Ketika pegawai aktif menyampaikan ide, kritik, atau usulan, organisasi memiliki peluang lebih besar untuk tumbuh, memperbaiki diri, dan menjadi lebih adaptif terhadap perubahan. Maka, membangun budaya bicara bukan sekadar soal komunikasi, tetapi juga menciptakan iklim kepercayaan dan keberanian bersama.

Sumber ilustrasi: https://greatpeopleinside.com/speak-up-to-misconducts/

Menyadari Akar Budaya Diam

Budaya diam tidak terbentuk dalam ruang hampa. Ia memiliki akar historis dan struktural yang dalam. Salah satunya adalah warisan pemikiran Max Weber tentang birokrasi. Menurut Weber, birokrasi dipandang sebagai sistem yang efisien karena berbasis pada otoritas legal-rasional, hierarki, dan impersonalitas. Namun, ia juga mengingatkan bahwa rasionalisasi berlebihan dapat membentuk iron cage atau sangkar besi, yaitu situasi di mana individu terjebak dalam aturan dan prosedur yang kaku, hingga kehilangan ruang untuk berpikir kreatif dan menyuarakan pendapat.

Selain pengaruh struktur birokrasi, budaya paternalistik juga memperkuat munculnya budaya diam. Budaya paternalistik berakar pada relasi kekuasaan yang timpang, di mana pemimpin bertindak seperti “ayah” yang merasa paling tahu apa yang terbaik untuk bawahannya, sementara bawahan diharapkan untuk patuh dan tidak membantah. Di Indonesia, model ini berkembang menjadi istilah “bapakisme, yang membentuk relasi antara atasan dan bawahan yang tidak seimbang. 

Selama masa Orde Baru, pada saat itu presiden memposisikan dirinya sebagai sosok “bapak” yang harus dihormati dan tidak dibantah. Sementara masyarakat berperan sebagai “anak” yang harus patuh. Meskipun era itu telah berlalu, jejak bapakisme masih melekat kuat di birokrasi.

Mengapa Budaya Diam Bisa Terjadi?

Budaya diam muncul dari tiga faktor, yaitu: manajerial, organisasi, dan individu.

1.    Faktor Manajerial

Faktor manajerial yaitu melihat bagaimana cara pemimpin merespons suara pegawai. Ketika ide dan masukan tidak dihargai, pegawai bisa kehilangan semangat untuk berbicara. Selain itu, bila atasan memandang pegawai secara negatif, yang mempersepsikan pegawai sebagai pihak yang malas atau tidak loyal, maka hubungan kerja akan menjadi kaku dan tidak sehat. Padahal, dengan membangun budaya saling percaya dan memberi ruang diskusi yang aman, banyak potensi yang bisa dimunculkan.

2.    Faktor Organisasi

Struktur organisasi yang terlalu hierarkis, prosedural, dan tertutup dalam pengambilan keputusan juga bisa meredam suara pegawai. Namun, hal ini bisa diubah. Saat organisasi memberi ruang partisipasi lebih luas, keterbukaan akan tumbuh. Ketika pegawai merasa bahwa suara mereka berdampak, mereka akan lebih terlibat secara aktif. 

3.    Faktor Individu

Beberapa pegawai mungkin memilih diam karena takut konflik atau takut salah bicara. Tapi ketika organisasi menciptakan lingkungan psikologis yang aman, di mana kesalahan dianggap sebagai proses belajar, dan kritik diterima sebagai bagian dari perbaikan, rasa takut itu akan perlahan hilang. 

 

Membangun Ruang Aman

Mengubah budaya organisasi bukanlah hal mudah, terutama ketika budaya diam telah mengakar dalam birokrasi. Namun, perubahan itu mungkin dan sangat diperlukan. Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi para manajer saat ini adalah menciptakan iklim yang mendorong pegawai untuk berani bersuara. Budaya diam, jika dibiarkan, bisa merugikan organisasi secara perlahan karena menahan arus informasi penting, inovasi, dan pembelajaran. Transisi dari organisasi yang tertutup ke organisasi yang mendorong partisipasi membutuhkan sebuah transformasi yang bersifat revolusioner.

Ada tiga strategi yang dapat dilakukan organisasi untuk menumbuhkan budaya bersuara. Pertama, pimpinan perlu menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis, tempat di mana pegawai merasa didengar, dihargai, dan tidak takut dihakimi. Kedua, organisasi perlu menumbuhkan budaya keadilan prosedural, di mana keputusan dibuat secara transparan, melibatkan masukan dari pegawai, dan dilandasi oleh informasi yang akurat serta bebas dari bias. Ketiga, penting bagi organisasi untuk menyediakan saluran komunikasi yang aman, baik formal maupun informal. Sistem seperti kotak saran, forum rutin, atau juru bicara tim dapat menjadi jembatan bagi ide-ide yang mungkin tidak muncul dalam situasi formal.

Penutup

Membangun budaya bersuara di birokrasi bukan sekadar membuka ruang diskusi, melainkan menciptakan iklim yang aman dan adil bagi setiap orang untuk didengar. Ketika pegawai merasa aman secara psikologis–dimana ia tahu bahwa suaranya tidak akan ditertawakan, diabaikan, atau malah dikucilkan–maka gagasan, masukan bahkan kritik bisa muncul dengan semangat membangun.

Budaya seperti ini tidak tumbuh dari rasa takut, melainkan rasa percaya dan kesetaraan. Karena seringkali, ide-ide segar justru tidak muncul dari ruang rapat formal, melainkan dari obrolan santai seperti di warung kopi, tempat di mana tidak ada jarak atau sekat antara pimpinan dan bawahan. Inilah saatnya birokrasi tidak hanya menjadi tempat bekerja, tetapi juga ruang berkembang dan berdaya bagi semua.

Penulis: Rista Nur Farida
Unit: Biro Sumber Daya Manusia

 

*Tulisan ini merupakan pandangan pribadi penulis dan tidak mewakili pandangan institusi atau pihak mana pun.

Back To Top